Senin, 17 Oktober 2011

PERSETERUAN DPR VS KPK

Lebih baik bubarkan saja KPK (Korupsi Pemberantasan Korupsi). Ucapan itu keluar dari mulut Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi PKS, Fahri Hamzah, di depan Rapat Konsultasi DPR, KPK, Polri dan Kejaksaan Agung, Senin (3/10). Dan, seperti biasa media pun ramai-ramai menjadikannya polemik.
Ide pembubaran KPK seperti diungkapkan Fahri bukan barang baru. Ketua DPR Marzuki Alie pun pernah mengungkapkan ide serupa. Kala itu gagasan Marzuki juga jadi polemik. Tidak hanya itu, usaha membubarkan, atau paling tidak melemahkan, KPK sudah berkali-kali dilakukan. Upaya itu antara lain dengan mengaitkan Ketua KPK (waktu itu) Antasari Azhar dengan pembunuhan Direktur PT Rajawali Putra Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Juga lewat kriminalisasi yang dilakukan terhadap dua wakil ketua KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto.
KPK, seperti dikatakan Fahri, memang superkuat. Undang-undang No 30/2002 tentang KPK memberikan kewenangan begitu besar terhadap lembaga itu. Dan, ketika KPK melaksanakannya, termasuk penangkapan anggota Dewan, pembuat UU pun gerah. Puncaknya adalah pemanggilan empat pimpinan Badan Anggaran (Banggar) yang berbuah usulan pembubaran lembaga pemberantasan korupsi tersebut.
Meski banyak yang menganggap ide pembubaran KPK sebagai angin lalu, tapi rupanya DPR benar serius. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Ahmad Yani, kemarin (4/10) menyebutkan, UU KPK akan direvisi bersama UU penegak hukum lainnya. Ini juga bukan rencana baru. Maret dan April lalu, DPR sudah berencana merevisi UU KPK. Priyo Budi Santoso dari Fraksi Partai Golkar yang mengungkapkan bahwa UU KPK akan direvisi karena kewenangan lembaga itu terlalu besar.
Bagi DPR, revisi UU KPK rupanya jadi prioritas. Buktinya, revisi tersebut menempati urutan keempat dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang harus diselesaikan tahun ini juga. Bagi masyarakat, DPR sekarang terasa seperti penjegal KPK. Itu pula persepsi masyarakat ketika DPR berpolemik mengenai calon pimpinan KPK yang terkesan seperti menunda-nunda pemilihan.
Masyarakat, terutama yang concern terhadap pemberantasan korupsi akan mengawasi revisi UU KPK tersebut. Jika ternyata revisi justru melemahkan upaya pemberantasan korupsi, tentu masyarakat tidak akan tinggal diam.
KPK sudah berumur 9 tahun kini. Cukup panjang. Dengan anggaran Rp400 miliar per tahun, kinerja KPK lumayan. Meski ada kesan tebang pilih, tapi kehadirannya secara umum sudah dirasakan terutama oleh para pelaku tindak pidana korupsi. Seperti dikatakan politisi Partai Demokrat, Benny K Harman, KPK telah menjadi “teroris”. Benny memang mengritik KPK dengan sebutan “teroris” tapi ungkapan itu tepat. KPK menjadi teroris bagi pelaku korupsi.
Kinerja KPK belum sepenuhnya seperti diharapkan. Beberapa kasus besar seperti dipendam, antara lain kasus Century. Baru-baru ini saja, setelah didesak KPK mengusut aliran dana Bank Century kepada pejabat Bank Indonesia, Budi Mulya. Bisa jadi itu dampak dari upaya kriminalisasi yang pernah dilakukan terhadap pimpinan KPK beberapa waktu lalu.
Ketidaksempurnaan KPK bukan alasan untuk membubarkannya. Memang, setelah kasus Nazaruddin kinerja KPK dipertanyakan. Dan, ketika Nazaruddin mengungkapkan pertemuannya dengan Chandra M Hamzah, kepercayaan masyarakat terhadap KPK merosot tajam. Tapi itu bukan berarti lembaga ini harus dihapuskan. Bukankah kepercayaan terhadap DPR pun jauh lebih merosot? Apakah dengan begitu DPR harus dibubarkan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar